Anakku...
Bagaimana kabarmu, apakah kamu
baik-baik saja? Di rumah, ibumu juga sehat. Sekarang ini aku sedang memandangi
cermin dan fotomu. Tiba-tiba aku menjadi sadar bahwa aku sudah mulai tua. Kerut
merut di wajahku sudah semakin banyak dan aku tidak cekatan lagi seperti dulu.
Aku sering iri padamu yang selalu ceria, riang, aktif dan penuh dinamika.
Akupun pernah mengalami seperti itu dulu.
Anakku...
Ketika menikah dengan ayahmu, aku
tidak pernah membayangkan akan mempunyai anak seperti kamu. Sungguh, aku bangga
padamu. Setelah engkau besar kini, aku baru sadar betapa kecilnya aku ini,
betapa tidak berartinya aku. Engkau lahir dan tumbuh semata-mata karena
mukjizat dan rahmat Tuhan belaka.
Tak kuingkari memang akulah yang
mengandungmu selama sembilan bulan. Saat itu aku selalu gelisah menanti
kelahiranmu. Aku selalu menjaga diriku agar bayi di perutku, yaitu kamu, sehat.
Dengan susah payah dan sakit kulahirkan engkau. Aku termasuk beruntung karena
tidak harus meninggal untuk melahirkanmu. Aku sampai menitikkan air mata
bahagia saat mendengar tangis pertamamu yang lucu.
Engkau ini darah dan dagingku
sendiri; engkau tumbuh dari bagian tubuhku namun engkau lahir keluar sebagai
manusia yang baru sama sekali. Dalam beberapa hal kamu memang mirip aku tetapi
selebihnya engkau sungguh baru.
Sejak kecil kurawat engkau dengan
sangat hati-hati dan penuh kasih; engkau lebih kuperhatikan dari pada apapun
yang pernah kumiliki. Kusuapi dan kususui engkau dengan air yang mengalir dari dadaku
sendiri. Bila engkau menangis kugendong dan kuhibur. Kuberi engkau pakaian dan
sepatu dan topi yang cocok untukmu. Tak lupa kubelikan juga mainan yang kau
gemari; mobil-mobilan atau boneka-boneka yang lucu. Engkau masih ingat masa
kecilmu, kan?
Setiap pagi dan sore kumandikan
engkau. Bila kau ngompol atau e’ek di celana atau di popok, dengan sabar
kubersihkan dan kuganti dengan yang baru.
Paling sedihlah aku, bila kamu
sakit. Memang engkau waktu itu hanya makhluk kecil yang tidak berdaya, yang bisa
saja kubuang ke kotak sampah atau ke selokan kalau aku mau. Tapi aku cinta
padamu, engkau bagian dari hidupku sendiri. Maka kurawat engkau
sungguh-sungguh, kubawa engkau ke dokter, kuusahakan agar kau mendapat
vaksinasi dan makanan bergizi.
Anakku...
Pada waktu masih kecil dulu, kamu
sering rewel, ngambeg bila tidak diberi uang jajan, atau sulit bila disuruh
mandi. Kau ingat betapa manjanya kamu. Setiap kali kau lari ke pangkuanku bila
engkau bertengkar dengan kakakmu, bila dimarahi ayah, atau bila dinakali
teman-temanmu. Aku menjadi saksi untuk masa kecilmu yang manja, sehingga aku
tak sempat lagi mengurus diri atau pergi sesuka hati.
Kini engkau sudah dewasa...
Aku bangga padamu, engkau harapanku.
Namun aku sering sedih melihat kelakuanmu; kala engkau bermalas-malasan untuk
bangun, kala bermain seharian tak tahu waktu. Hampir-hampir aku menangis bila
kuingat betapa sulitnya menyuruhmu belajar, mengerjakan PR, atau mengingatkanmu
untuk tidak membolos. Sepertinya kau tidak tahu bahwa ini semua demi kamu
sendiri. Sungguh aku tidak bermaksud mau menyengsarakanmu dengan
aturan-aturanku. Aku ingin engkau bahagia, bisa hidup pantas di tengah-tengah
dunia yang penuh dengan persaingan ini. Kamu harus pandai supaya tidak mati
tertelan jamanmu nanti.
Anakku...
Betapa sedihnya aku, ketika aku kau
tuduh orang tua kolot, orang tua yang tidak mengikuti jaman, atau orang tua
kampungan. Aku ingin dipahami bahwa kalau kusuruh kau bergaul tidak
sembarangan, berpakaian yang pantas dan mau menghargai orang lain, adalah
sungguh-sungguh supaya kamu menjadi manusia yang bermoral, bukan begajulan yang
menghancurkan hidupnya dengan mau hidup sebebas-bebasnya.
Kau lihat betapa banyak teman
sebayamu yang sudah harus berhenti sekolah untuk mengasuh anak, betapa banyak teman
seusiamu jatuh pada obat bius dan pornografi. Anakku, aku tahu engkaupun tidak
ingin menjadi seperti itu.
Sungguh kalau aku keras dalam hal
ini karena aku tahu betapa halusnya bujukan setan dan betapa beratnya hidup
yang tidak tegas terhadap yang jahat. Aku ingin kau pun memahami itu. Hatiku
akan hancur bila sikapmu selalu melawan aku, bila kau selalu menganggap dirimu
benar sendiri.
Setiap malam aku berdoa untukmu, tak
sekejap pun engkau hilang dari hidupku. Bila aku sedang memasak di dapur, yang
kubayangkan adalah kepuasan makanmu dan juga kesehatan tubuhmu. Bila aku ikut
membantu bekerja, yang kuinginkan engkau tidak terhambat karena biaya. Bila
kubenahi kamarmu yang selalu berantakan yang kuinginkan agar kau krasan di
rumah. Bila kubelikan kau baju-baju yang modis, aku ingin kau tidak malu pada
teman-temanmu. Dan bila aku merawat kesehatan tubuhku sendiri, aku hanya ingin
agar aku dapat lebih lama lagi mendampingi dan menyerahkan hidup kepadamu.
Sekarang ini kamu sudah dewasa,
banyak hal sudah dapat kau lakukan sendiri. Lambat laun akan terasa bahwa
hidupmu memang menjadi tanggung jawabmu sendiri; tidak ada seorangpun yang
dapat menggantikannya termasuk ibumu ini. Mohon jangan kecewakan aku dengan
sikap keras kepalamu yang kekanak-kanakkan itu. Aku tidak cemburu kalau kamu
sekarang sudah melebihi aku dalam segalanya. Aku malah bangga karena Tuhan
sudah berkenan membiarkan aku ikut menyaksikan pembentukkan hidupmu. Seperti
sebatang lilin, hidupku sudah meleleh habis… dan sebentar lagi pasti akan padam…
untuk menerangi hidupmu, anakku. Kini engkau sendiri sudah mulai menyala, lebih
terang dari yang kupunya.
Anakku...
Kalau engkau memang sulit menerima
aku yang sering rewel, kolot atau lamban ini, aku mohon paling tidak kamu mau
menghormati ayahmu. Sepanjang hari setiap hari selama bertahun-tahun dia
bekerja keras untukmu, hingga tubuhnya lemah, hingga kulitnya kerut merut
tertimpa banyak penderitaan. Cintanya padamu membuatnya tidak malu untuk
bekerja di tempat-tempat yang kotor, membuatnya tahan duduk berjam-jam
menangani tugas-tugas yang membosankan, dan membuatnya setia menjagai kita
semua.
Dia juga hanya ingin agar kita ini
berbahagia. Anakku, jangan sia-siakan cintanya. Jarang sekali dia mengeluh kala
menghadapi beratnya beban kehidupan, tugas-tugas berat dan tuntutan
anak-anaknya. Di hadapan kita, dia selalu tersenyum dan tertawa gembira.
Kadang-kadang aku merasa kasihan kepadanya kalau dia tidak bisa pulang
seharian, kalau tubuhnya yang sudah kecapaian itu harus dipaksa untuk bekerja
lagi. Saya sendiri sering merasa bersalah karena rasanya hanya memperlakukan
ayah seperti kuda beban atau sapi perahan. Kita bisa beli ini itu, bisa pergi
ke sana kemari atau bermain-main dengan santai di rumah, sementara itu dia
hanya puas dengan secangkir kopi dan baju yang itu itu saja, dia juga tidak
mempunyai banyak waktu untuk bersantai-santai seperti kita. Sungguh anakku, aku
mohon hormatilah ayahmu.
Akhirnya...
Sebagai orang tuamu aku minta maaf
kalau selama ini aku kadang-kadang egois, menuntut terlalu berlebihan, kolot
dan keras terhadapmu. Maafkan aku bila aku kurang mengerti kebutuhan-kebutuhan
dan dunia mudamu. Kadang aku masih menganggapmu seperti anak-anak yang harus
kuatur segalanya agar tidak keliru. Maafkan aku anakku, yang membuat banyak kesalahan
atau malah menyengsarakanmu, yang tidak dapat mencintai dengan cara yang cocok
dengan keinginanmu. Kata maaf darimu adalah hadiah yang paling kutunggu.
Anakku...
Aku sudah kangen kamu. Ingin rasanya
kubisikkan aku sayang kamu. Hanya peluk ciumku untukmu.
IBU-MU
=== Salam Sabar ===
Dikutip dari Ruang Hati (Karyanto
Boris)