Reza
duduk termenung masih jelas diingatannya peristiwa satu tahun yang lalu.
Pagi itu tepatnya di hari Minggu, ia bersama
teman-temannya bermain sepeda di lapangan. Sepeda itu masih baru. Hadiah dari
ayahnya karena ia mendapatkan rangking satu. Betapa gembira ia, berkat
ketekunannya dalam belajar,selain mendapatkan rangking satu ia juga mendapat
hadiah sepeda yang selama ini diidam-idamkan.
“Teman
– teman aku pulang dulu, ya!” kata Reza ketika mendengar suara adzan
“Sebentar lagi, tanggung nih!” Jawab Joni
temannya.
Reza terbujuk dengan rayuan temannya. Saking
asyiknya bermain sepeda, ia pun
lupa akan kewajibannya hingga adzan
ashar berkumandang. Dada Reza berdebar – debar teringat akan salat dzuhur yang
telah ditinggalkannya.
Tanpa berpamitan Rezapun bergegas pulang. Di
sepanjang perjalanan pulang Reza terbayang – bayang dengan kesalahannya itu.
” Kenapa kegembiraan ini membuat aku lupa
kepada Sang Pencipta.” Sesalnya dalam hati. Ia mengayuh sepedanya lebih kencang
lagi. Hingga tanpa disadarinya sebuah truk
menyambar ban sepeda depan. Tubuhnya terpelanting di pinggir jalan.
Selanjutnya entah apa yang terjadi Resa tidak tahu. Semua terasa gelap.
”Itu suara Ibu. Kenapa menangis?” tanyanya
dalam hati. Tubuhnya terasa sakit semua. Ia baru tersadar, ternyata sudah berada di sebuah ruang yang
serba putih.
“Alhamdulilah, Nak. Kamu sudah sadar” kata
Ibu Reza di sela – sela isak tangisnya, ketika dilihatnya mata Reza terbuka.
“Ibu . . .! Maafkan Reza, Bu!” pinta Reza
sambil merengek. Ia ingin memeluk ibunya tapi tangannya terasa berat.
“Ya,Allah . . .!” pekik
Reza,”Innalilahiwainaiilaihirojiun!” tangisnya meledak, ketika diketahui tangan
kirinya tidak ada. Dunia seakan runtuh . Reza harus menerima kenyataan pahit
ini.Tangis ibunya pun meledak lagi mendengar Reza menangis histeris.
Berulangkali Ibunya menenangkan hati Reza dengan berbagai nasehat.
“Ada apa, Za ?” Tiba- tiba seorang laki-laki
membuyarkan lamunannya . Secepat kilat tangan kanannya menyapu air mata yang
tanpa ia sadari telah membasahi pipi. Laki-laki itu ternyata Pak Hamzah
ayahnya.“Tidak baik, anak muda sering melamun, “ lanjutnya.
“Pak , betulkah ini hukuman dari Allah atas
kelalaian Reza. Kenapa baru sekali saja Reza meninggalkan sholat, Allah sudah
menghukum Reza sedemikian beratnya. Allah tidak sayang Reza ,” kata Reza
disela-sela tangisnya.
“Sssstt, Jangan bicara seperti itu . Itu
namanya kamu tidak bersyukur !” Sela ayahnya.
“Bagaimana Reza bersyukur , baru lalai sekali
saja, Resa sudah dihukum seperti ini !” sahut Reza dengan nada tinggi.
“ Reza! “ Ayahnya berkata sambil memeluk Reza
untuk menenangkannya.” Justru Allah begitu sayang kepadamu, baru salah sedikit
saja langsung diperingatkan . Coba kalau Allah tidak menegurmu , mungkin kamu
akan lebih banyak berbuat dosa dan makin lama akan semakin terbiasa
meninggalkan sholat. Dan coba cari hikmah dari peristiwa ini. Allah pasti
mempunyai rencana yang kita tidak bisa menebaknya,” lanjut ayah menasehati.
Reza mulai tenang. Mau marah,
menyesal,menangis , atau apapun juga yang ia lakukan tidak akan dapat
mengembalikan tangan kirinya. Sekarang yang ia lakukan hanyalah mencari cara
agar dengan kondisi yang seperti ini ia bisa menjadi kebanggaan kedua
orangtuanya.
Reza meloncat dari tempat duduknya.
“Hiyaatt,….heiyaat….” Reza seperti kerasukan
syetan memperagakan jurus-jurus silat yang telah diajarkan oleh ayahnya.
Walaupun dengan hanya satu tangan namun gerakannya begitu gesit. Tebas sana,
tebas sini , melompat, dan berguling. Semua itu ia lakukan seolah mengeluarkan
segala emosinya. Pak Hamzah ayahnya, sekaligus guru silatnya berdecak kagum
bercampur heran. Walaupun sudah beberapa bulan tidak latihan, namun jurus-jurus
yang ia ajarkan tak satupun terlupakan. Justru banyak variasi muncul disela -
sela jurus yang ada.
“Hebat……hebat…..!” puji Ayahnya sambil
bertepuk tangan.” Nah , begitu. Harus semangat. Bapak yakin ,insyaallah kamu
dapat menjadi pesilat yang handal.
Pada awal kondisinya seperti ini, tak sedikit
temannya yang memandang sebelah mata. Bahkan tidak jarang ledekan dan hinaan
dari teman-temannya ia terima. Banyak teman yang menjauhinya. Untunglah masih ada beberapa teman yang setia
dan mau bersahabat dengannya. Mungkin itulah yang namanya teman sejati. Selalu
ada dan mau menerima keadaan apapun.
“Anak-anak. Dalam rangka Popda dan Porseni, akan
diselenggarakan seleksi tingkat sekolah. Untuk itu bagi yang mempunyai bakat,
silahkan mendaftarkan diri,” Kata Pak Wisnu pada suatu hari.
Pak Wisnu kemudian mengumumkan cabang -
cabang olahraga dan seni yang akan diselenggarakan. Beliau mulai mencatat
anak-anak yang mendaftar.
“Pencak silat , siapa yang mendaftar?” tanya
Pak Wisnu setelah beberapa saat meneliti tulisannya, sambil menebarkan
pandangannya ke seluruh siswa. Tak seorangpun mengangkat tangannya. Setelah
tahu tak ada temannya yang mendaftar, dengan dada berdebar-debar Reza
mengangkat tangan.
“Saya,Pak !” spontan seluruh siswa tertawa
mendengar kata Reza.
“Si buntung ikut pencak silat …ha..ha..ha…ha
“ ledek Joni yang memang sejak dulu
kelihatan tidak suka padanya.
“ Apa kamu mampu?” kata Pak Wisnu tidak
percaya.
Panas rasanya hati Reza. Tanpa disuruh ia
maju ke depan kelas sambil memperagakan kebolehannya. Spontan seluruh siswa
terdiam. Seakan terhipnotis dengan gerakan – gerakan silat yang diperagakan
oleh Reza.
Bukan hanya siswa kelas 1A saja yang
menyaksikan peragaan silat Reza. Guru-guru lain yang penasaran mendengar suara
di kelas 1A pun ikut nimbrung melihat. Bahkan Bapak Kepala sekolah pun
mendatangi kelas tersebut. Semua yang menyaksikan merasa kagum.
“Bagus..bagus ! “ puji Bapak Kepala Sekolah
sambil berjalan mendekati Pak Wisnu.
“Gimana ,Pak. Saya boleh ikut ?“ Tanya Reza
kepada Pak Wisnu sambil mengusap peluh yang bercucuran di dahinya.
Pak Wisnu tidak segera menjawab. Pandangannya
tertuju pada lengan tangan kirinya .
“Pak, apa orang cacat tidak boleh ikut
pertandingan?” lanjut Reza setelah beberapa lama tidak ada jawaban dari Pak
Wisnu.
“Kita tandingkan saja dulu dengan Ismail jago
kita tahun lalu ,” kata Kepala Sekolah memberi pertimbangan Pak Wisnu.Pak
Wisnupun menyetujuinya
Esok harinya, pukul delapan tepat
pertandingan dimulai . Pak Wahyu
memimpin pertandingan itu. Setelah keduanya melakukan penghormatan,
mereka mulai beraksi. Sorak sorai para pendukung kedua belah pihak bergemuruh.
Menit demi menit berlalu. Pada awal
pertandingan Reza hanya mengimbangi permainan Ismail untuk menjajagi sejauh
mana kemampuannya. Ismail mengira kamampuan Reza hanya sebegitu-begitu saja. Ia
kelihatan di atas angin. Pada saat lengah itulah Reza mengeluarkan jurus
andalannya. Ismail mulai kewalahan yang pada akhirnya, ”Brukk!!!” Reza dapat
menjatuhkan Ismail.
Sorak
sorai diiringi tepuk tangan penonton bergemuruh. Para siswa kelas XI IPA
mengerubuti Reza. Reza dipanggul oleh beberapa temannya sambil bersorak-sorai.
Pak Wahyu yang memimpin pertandingan itu segera mengumumkan hasil
pertandingan.Reza melapiaskan kegembiraan itu engan sujud syukur.
‘
Horeee….Hidup Reza…Hidup Reza….!”seru
teman-temannya berulang kali. Beberapa saat mereka meluapkan kegembiraan.
“Selamat ya, Za! Bapak bangga padamu .” Ucap
Pak Wisnu wali kelasnya yang tidak mengira Reza dapat mengalahkan Ismail, juara
pencak silat pada Popda tahun lalu.
”Kamu berhak mewakili sekolah kita ,” lanjut
Pak Wisnu.
Banyak nasehat yang diberikan oleh Pak Wisnu
yang semuanya itu bertujuan demi kebaikan Reza.
Sepulang sekolah Reza menceritakan kabar
gembira tersebut kepada ibu dan ayahnya. Dalam hati ia berjanji tidak akan
melupakan Sang pencipta dalam keadaan gembira maupun sedih. Sudah cukup
baginya peringatan Sang pencipta terhadap
dirinya. Ia juga akan giat berlatih agar menjadi kebanggaan ayah dan ibunya.
Dengan keyakinan yang kuat dan tekun berlatih insyaallah tidak akan
mengecewakan sekolah.
Buah Karya : Hemas Ayu Hapsari (SMA N 2 Klaten)