Green Fire Pointer Nimas Ayu Sekarsari: Mentari Masih Bersinar (Cerpen)

Minggu, 30 Desember 2012

Mentari Masih Bersinar (Cerpen)




Reza duduk termenung masih jelas diingatannya peristiwa satu tahun yang lalu.
Pagi itu tepatnya di hari Minggu, ia bersama teman-temannya bermain sepeda di lapangan. Sepeda itu masih baru. Hadiah dari ayahnya karena ia mendapatkan rangking satu. Betapa gembira ia, berkat ketekunannya dalam belajar,selain mendapatkan rangking satu ia juga mendapat hadiah sepeda yang selama ini diidam-idamkan.
 “Teman – teman aku pulang dulu, ya!” kata Reza ketika mendengar suara adzan
“Sebentar lagi, tanggung nih!” Jawab Joni temannya.
Reza terbujuk dengan rayuan temannya. Saking asyiknya bermain sepeda,  ia pun lupa  akan kewajibannya hingga adzan ashar berkumandang. Dada Reza berdebar – debar teringat akan salat dzuhur yang telah ditinggalkannya.
Tanpa berpamitan Rezapun bergegas pulang. Di sepanjang perjalanan pulang Reza terbayang – bayang dengan kesalahannya itu.
” Kenapa kegembiraan ini membuat aku lupa kepada Sang Pencipta.” Sesalnya dalam hati. Ia mengayuh sepedanya lebih kencang lagi. Hingga tanpa disadarinya sebuah truk  menyambar ban sepeda depan. Tubuhnya terpelanting di pinggir jalan. Selanjutnya entah apa yang terjadi Resa tidak tahu.    Semua terasa gelap.
”Itu suara Ibu. Kenapa menangis?” tanyanya dalam hati. Tubuhnya terasa sakit semua. Ia baru tersadar,  ternyata sudah berada di sebuah ruang yang serba putih.
“Alhamdulilah, Nak. Kamu sudah sadar” kata Ibu Reza di sela – sela isak tangisnya, ketika dilihatnya mata Reza terbuka.
“Ibu . . .! Maafkan Reza, Bu!” pinta Reza sambil merengek. Ia ingin memeluk ibunya tapi tangannya terasa berat.
 “Ya,Allah . . .!” pekik Reza,”Innalilahiwainaiilaihirojiun!” tangisnya meledak, ketika diketahui tangan kirinya tidak ada. Dunia seakan runtuh . Reza harus menerima kenyataan pahit ini.Tangis ibunya pun meledak lagi mendengar Reza menangis histeris. Berulangkali Ibunya menenangkan hati Reza dengan berbagai nasehat.
“Ada apa, Za ?” Tiba- tiba seorang laki-laki membuyarkan lamunannya . Secepat kilat tangan kanannya menyapu air mata yang tanpa ia sadari telah membasahi pipi. Laki-laki itu ternyata Pak Hamzah ayahnya.“Tidak baik, anak muda sering melamun, “ lanjutnya.
“Pak , betulkah ini hukuman dari Allah atas kelalaian Reza. Kenapa baru sekali saja Reza meninggalkan sholat, Allah sudah menghukum Reza sedemikian beratnya. Allah tidak sayang Reza ,” kata Reza disela-sela tangisnya.
“Sssstt, Jangan bicara seperti itu . Itu namanya kamu tidak bersyukur !” Sela ayahnya.
“Bagaimana Reza bersyukur , baru lalai sekali saja, Resa sudah dihukum seperti ini !” sahut Reza dengan nada tinggi.
“ Reza! “ Ayahnya berkata sambil memeluk Reza untuk menenangkannya.” Justru Allah begitu sayang kepadamu, baru salah sedikit saja langsung diperingatkan . Coba kalau Allah tidak menegurmu , mungkin kamu akan lebih banyak berbuat dosa dan makin lama akan semakin terbiasa meninggalkan sholat. Dan coba cari hikmah dari peristiwa ini. Allah pasti mempunyai rencana yang kita tidak bisa menebaknya,” lanjut ayah menasehati.
Reza mulai tenang. Mau marah, menyesal,menangis , atau apapun juga yang ia lakukan tidak akan dapat mengembalikan tangan kirinya. Sekarang yang ia lakukan hanyalah mencari cara agar dengan kondisi yang seperti ini ia bisa menjadi kebanggaan kedua orangtuanya.
Reza meloncat dari tempat duduknya.
“Hiyaatt,….heiyaat….” Reza seperti kerasukan syetan memperagakan jurus-jurus silat yang telah diajarkan oleh ayahnya. Walaupun dengan hanya satu tangan namun gerakannya begitu gesit. Tebas sana, tebas sini , melompat, dan berguling. Semua itu ia lakukan seolah mengeluarkan segala emosinya. Pak Hamzah ayahnya, sekaligus guru silatnya berdecak kagum bercampur heran. Walaupun sudah beberapa bulan tidak latihan, namun jurus-jurus yang ia ajarkan tak satupun terlupakan. Justru banyak variasi muncul disela - sela jurus yang ada.
“Hebat……hebat…..!” puji Ayahnya sambil bertepuk tangan.” Nah , begitu. Harus semangat. Bapak yakin ,insyaallah kamu dapat menjadi pesilat yang handal.
Pada awal kondisinya seperti ini, tak sedikit temannya yang memandang sebelah mata. Bahkan tidak jarang ledekan dan hinaan dari teman-temannya ia terima. Banyak teman yang menjauhinya.  Untunglah masih ada beberapa teman yang setia dan mau bersahabat dengannya. Mungkin itulah yang namanya teman sejati. Selalu ada dan mau menerima keadaan apapun.
“Anak-anak. Dalam rangka Popda dan Porseni, akan diselenggarakan seleksi tingkat sekolah. Untuk itu bagi yang mempunyai bakat, silahkan mendaftarkan diri,” Kata Pak Wisnu pada suatu hari.
Pak Wisnu kemudian mengumumkan cabang - cabang olahraga dan seni yang akan diselenggarakan. Beliau mulai mencatat anak-anak yang mendaftar.
“Pencak silat , siapa yang mendaftar?” tanya Pak Wisnu setelah beberapa saat meneliti tulisannya, sambil menebarkan pandangannya ke seluruh siswa. Tak seorangpun mengangkat tangannya. Setelah tahu tak ada temannya yang mendaftar, dengan dada berdebar-debar Reza mengangkat tangan.
“Saya,Pak !” spontan seluruh siswa tertawa mendengar kata Reza.
“Si buntung ikut pencak silat …ha..ha..ha…ha “ ledek  Joni yang memang sejak dulu kelihatan tidak suka padanya.
“ Apa kamu mampu?” kata Pak Wisnu tidak percaya.
Panas rasanya hati Reza. Tanpa disuruh ia maju ke depan kelas sambil memperagakan kebolehannya. Spontan seluruh siswa terdiam. Seakan terhipnotis dengan gerakan – gerakan silat yang diperagakan oleh Reza.
Bukan hanya siswa kelas 1A saja yang menyaksikan peragaan silat Reza. Guru-guru lain yang penasaran mendengar suara di kelas 1A pun ikut nimbrung melihat. Bahkan Bapak Kepala sekolah pun mendatangi kelas tersebut. Semua yang menyaksikan merasa kagum.
“Bagus..bagus ! “ puji Bapak Kepala Sekolah sambil berjalan mendekati Pak Wisnu.
“Gimana ,Pak. Saya boleh ikut ?“ Tanya Reza kepada Pak Wisnu sambil mengusap peluh yang bercucuran di dahinya.
Pak Wisnu tidak segera menjawab. Pandangannya tertuju pada lengan tangan kirinya .
“Pak, apa orang cacat tidak boleh ikut pertandingan?” lanjut Reza setelah beberapa lama tidak ada jawaban dari Pak Wisnu.
“Kita tandingkan saja dulu dengan Ismail jago kita tahun lalu ,” kata Kepala Sekolah memberi pertimbangan Pak Wisnu.Pak Wisnupun menyetujuinya
Esok harinya, pukul delapan tepat pertandingan dimulai . Pak Wahyu  memimpin pertandingan itu. Setelah keduanya melakukan penghormatan, mereka mulai beraksi. Sorak sorai para pendukung kedua belah pihak bergemuruh. Menit demi menit  berlalu. Pada awal pertandingan Reza hanya mengimbangi permainan Ismail untuk menjajagi sejauh mana kemampuannya. Ismail mengira kamampuan Reza hanya sebegitu-begitu saja. Ia kelihatan di atas angin. Pada saat lengah itulah Reza mengeluarkan jurus andalannya. Ismail mulai kewalahan yang pada akhirnya, ”Brukk!!!” Reza dapat menjatuhkan Ismail.
 Sorak sorai diiringi tepuk tangan penonton bergemuruh. Para siswa kelas XI IPA mengerubuti Reza. Reza dipanggul oleh beberapa temannya sambil bersorak-sorai. Pak Wahyu yang memimpin pertandingan itu segera mengumumkan hasil pertandingan.Reza melapiaskan kegembiraan itu engan sujud syukur.
 ‘ Horeee….Hidup  Reza…Hidup Reza….!”seru teman-temannya berulang kali. Beberapa saat mereka meluapkan kegembiraan.
“Selamat ya, Za! Bapak bangga padamu .” Ucap Pak Wisnu wali kelasnya yang tidak mengira Reza dapat mengalahkan Ismail, juara pencak silat pada Popda tahun lalu.
”Kamu berhak mewakili sekolah kita ,” lanjut Pak Wisnu.
Banyak nasehat yang diberikan oleh Pak Wisnu yang semuanya itu bertujuan demi kebaikan Reza.
Sepulang sekolah Reza menceritakan kabar gembira tersebut kepada ibu dan ayahnya. Dalam hati ia berjanji tidak akan melupakan Sang pencipta dalam keadaan gembira maupun sedih. Sudah cukup baginya peringatan Sang pencipta terhadap dirinya. Ia juga akan giat berlatih agar menjadi kebanggaan ayah dan ibunya. Dengan keyakinan yang kuat dan tekun berlatih insyaallah tidak akan mengecewakan sekolah.

Buah Karya : Hemas Ayu Hapsari (SMA N 2 Klaten)